Seorang penyair menulis puisi
menulis lukanya sendiri, luka rakyat yang terzolimi,
lalu menghibur diri dalam bait-bait sunyi dan
ditemani harapan yang tercemar
dengan janji-janji.
Penyair itu menangis dalam puisinya
dia bertanya, kemanakah perginya keadilan
yang dulu selalu di agung-agungkan
demi indahnya kesejahteraan.
Ia melanjutkan puisinya
menyisipkan sebait doa, apakah keadilan
akan selalu ada menghiasi alam semesta,
ataukah hilang dimakan penguasa.
Pada akhirnya, ini hanyalah pembodohan
Pada akhirnya kami hanyalah tawanan, yang
di bodoh-bodohi negara dengan segala bentuk
kemewahan janji-janjinya. Pada akhirnya kami tertawa, tertawa dengan berlumur air mata, mengingat bodohnya mereka.
Sudahlah,
Hentikan tangismu sejenak, sudah terlalu banyak
penindasan, sudah saatnya merenungi bahwa eksistensi kita, hanya makhluk tak bermakna di mata mereka. Oohh indahnya menulis dan disertai nikmatnya bacaan-bacan puisi yang tercipta dari luka-luka rakyat jelata.
Kita harus mengerti bahwa keadilan itu tak selalu ada, kesejahtraan itu hidup hanya dalam Imajinasi saja. Sederhanakan diri, hati-hati, sebab, hari-hari ini kekejaman penguasa tampil dengan desain kebaikannya.
© 31.12.2020
© Malang Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar