bang_candra95 |
Tentu menjadi pertannyaan besar di benak kawan kawan yang belom pernah menempatkan diri pada posisi ini.
kata "pemimpin" digunakan
Dalam banyak arti yang berbeda beda di dalam pembicaraan sehari hari, akan terasa mudah jika salah satu dari arti ini benar dan yang lainnya salah, namun kenyataan tidak demikian.
Kamus kamus yang lengkap mendaftarkan semua arti yang umum di tambah arti yang khusus. Untuk memperkecil kebingungan, perlu kita ketahui bahwa seorang pemimpin adalah suatu sekala potensi seseorang untuk membuat orang lain melakukan apa yang ia inginkan, dan juga menghindari dipaksa orang lain untuk melakukan apa yang tidak ia inginkan. Perilaku berorientasi PEMIMPIN, merujuk pada tindakan tindakan individu yang terutama di tunjuk untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan.
Didalam menjalankan roda kepemimpinan pasti ada yang namannya dinamika-dinamika, dinamika PEMIMPIN merujuk pada intraksi intraksi pribadi yang meliputi prilaku berorientasi kekuasaan.
Seorang pemimpin haruslah mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik dan mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan segala aktivitas – aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan bersama. Untuk menjadi pemimpin yang baik tentu harus mempunyai sifat, sikap dan intelektualitas yang baik pula. Sifat adalah rupa atau keadaan yang tampak pada seseorang, contohnya kebaikan, pengertian, kesombongan, dan penyayang. Pemimpin yang baik harus mempunyai sifat yang baik secara lahir dan batin, berbudi luhur, mampu mengerti keinginan rakyatnya, serta mau mendengarkan kritik dan masukan dari para rakyatnya.
Kemudian sikap juga menentukan bagus atau tidaknya seorang pemimpin dalam memimpin rakyatnya. Contohnya yaitu seorang pemimpin harus tegas dan bijaksana dalam menentukan suatu perkara dan mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus memutuskan suatu masalah secara objektif bukan subjektif agar tercipta kepemerintahan yang adil. Selanjutnya berintelektual yang baik, pemimpin harus memiliki pribadi dengan kecakapan dan kelebihan, maka dalam sosoknya dibutuhkan kecerdasan dan wawasan yang luas. Dengan hal itu, seorang pemimpin akan memiliki prestise di mata masyarakat, sehingga pemimpin dapat dengan mudah mepengaruhi dan menciptakan power dalam dirinya. Pemimpin dapat menjadi panutan oleh rakyatnya, tentunya menjadi panutan yang baik agar bisa membangun organisasi/negara ini sesuai dengan apa yang diinginkan.
Ada pribahasa yang mengatakan tentang pemimpin, "menjadi seorang pemimpin ibarat menunggangi macan" kita harus pandai pandai mengolah agar kita tidak digigitnya. Yang namanya jabatan pasti memiliki resiko, baik dalam sekala micro maupun macro. Semakin tingggi suatu pohon semakin besar angin yang meniupnya. Dalam artian semakin tinggi posisinya/ jabatannya, semakin besar pula resiko yang harus di tanggungnya, baik matrial maupun emosional. Meskipun begitu posisi ini juga posisi yang sangat sulit. Mereka yang berada pada posisi ini justru sangatlah bergantung pada orang lain. Seorang pemimpin akan tergantung pada rakyatnya. Dengan adanya hierarki yang seperti itu, maka seorang pemimpin harus benar benar memiliki kekuatan, ilmu, dan berwawasan luas agar dia dapat mengatur dan mengefektifkan rakyatnya.
Berbagai krisis yang mendera silih berganti, menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan hingga penyalahgunaan kekuasaan, seakan-akan tidak mau beranjak dalam kehidupan bangsa ini. Wajar apabila dalam berbagai hasil survey, Indonesia selalu saja menempati posisi terendah dalam hal kemajuan, dan posisi puncak dalam hal kemunduran.
Dalam bidang korupsi misalnya, pada tahun 2007 Indonesia menempati urutan ke-3 negara paling korup setelah Myanmar dan Kamboja, begitu juga halnya dengan kemiskinan dan kebodohan. Sebaliknya dalam bidang kemajuan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, Indonesia berada di nomor belakang.
Selain itu krisis lainnya yang paling nyata dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis kepemimpinan. Kita mengalami kebingungan dalam hal menentukan pemimpin yang tepat untuk negeri ini. Tentu saja pemimpin yang mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis multidimensi ini. Beberapa kali pemilu dan pilpres telah digelar, namun selalu saja muncul perdebatan dalam menentukan pemimpin yang layak, sehingga perebutan posisi presiden dan wakil presiden kerap menjadi suguhan politik yang paling menyedot perhatian publik.
Akibat sibuknya para elit membicarakan persoalan kursi dan kekuasaan, maka persoalan-persoalan pokok yang dihadapi bangsa ini terkesan dilupakan. Upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, menjadi terabaikan dan hanya merupakan cita-cita semu. Padahal negeri ini sudah memenuhi syarat untuk disebut negara makmur bila dilihat dari potensi kekayaan sumber daya alam yang tersedia.
Alih-alih dikelola dengan baik dan mampu mensejahterakan rakyatnya, malah menjadi akar dan penyebab munculnya segala macam persoalan sosial, budaya dan ekonomi. Ketimpangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, semakin melebar. Kekayaan yang melimpah ruah ini malah di obral dengan begitu murah kepada segelintir orang atau golongan saja.
Kekuasaan pasca reformasi semakin terbuka untuk diperebutkan. Ketika zaman orde baru, berbicara masalah suksesi merupakan sesuatu yang amat tabu dan menakutkan, namun sekarang orang boleh berharap untuk menjadi presiden atau wakil presiden, sepanjang memiliki dukungan politik dan finansial yang kuat, bahkan dengan pemilihan langsung rakyat memiliki daulat penuh untuk menentukan pemimpinnya.
Namun, setelah reformasi itu berjalan beberapa tahun, kepemimpinan yang ideal itu amat sulit diwujudkan. Kepemimpinan bangsa ini hanya dimanfaatkan oleh elit-elit tertentu sebatas untuk tercapainya kepentingan diri dan kelompoknya. Pondasi Koalisi-koalisi dibangun hanya sekedar untuk bagi-bagi kekuasaan saja. Padahal, bila menyadari bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, mungkin setiap orang akan berhati-hati untuk memikulnya.
Kepemimpinan berbeda dengan seorang pemimpin karena hal itu merupakan sebuah pola /sistem. Oleh Karena itu, aspek kerja sama, kolektivitas, dan keterpaduan merupakan sebuah keharusan dalam sebuah kepemimpinan. Kegagalan dalam kepemimpinan sering terjadi karena menganggap kepemimpinan sebagai sebuah kerja individual.
Padahal, di zaman modern, tidak ada satu karya atau produk muncul karena karya individual. Sebuah produk umumnya merupakan sebuah karya kolektif. Kita bisa melihat sebuah industri pesawat terbang, mesinnya dibuat di Inggris, sistem navigasinya dibuat di Jerman, sayapnya dibuat di Indonesia, dan lain-lain.
Meski bagian-bagian pesawat itu dibuat di berbagai negara, namun semuanya sudah diatur dengan tepat, sehingga begitu bagian-bagian pesawat tersebut selesai diproduksi, pabrik induk tinggal memasangnya.
Bagian-bagian pesawat itu dibuat dengan ketentuan-ketentuan yang ketat dan terukur sehingga ketika diintegrasikan semuanya pas dan tepat.
Analog tersebut penting dikemukakan karena kita sering melihat kepemimpinan di Indonesia sering kali tidak berjalan sinkron dan harmonis dengan realitas yang dipimpinnya.
Silang pendapat antara para pemimpin dalam mencari solusi terhadap sebuah problem sering terjadi karena tidak adanya pola/ sistem kepemimpinan. Di era modern seperti ini, kepemimpinan individual sudah tidak sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia.
Kasus banjir di Jakarta, misalnya bisa menjadi contoh betapa permasalahan banjir tersebut tidak bisa diselesaikan hanya pemerintah DKI.
Masalah banjir di Jakarta menggambarkan bahwa permasalahan lokal ternyata tidak bisa diselesaikan secara lokal. Tapi perlu diselesaikan dengan mengajak pihak-pihak lain yang terkait. Baik secara lokal, nasional, regional, maupun global untuk bekerjasama menyelesaikan permasalahan permasalahan secara integratif dengan melihat problemnya secara keseluruhan.
Dengan pendekatan lokalitas dalam globalitas inilah, kita harus melihat konsep kebangsaan.
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia yang tidak bisa dipisahkan. Kemajuan IT di dunia telah menghilangkan jarak antara satu titik lokasi dengan titik lokasi lainnya di muka planet bumi, bahkan dengan titik lokasi di jagat raya.
Tanpa melihat keterkaitan global dan universal itu, setiap solusi dari permasalahan di dalam negeri tidak bisa tuntas diselesaikan. Dengan perspektif itulah wawasan kebangsaan perlu dibangun. Saat ini bangsa Indonesia sudah bisa merasakan betapa besar, kaya dan luasnya negeri indonesia, ternyata tidak memberikan solusi untuk mengatasi problem masyarakat.
Ketika pergerakan uang dan modal tidak dibatasi sekat-sekat antarnegara, maka kekayaan dan luasnya sebuah negara tidak lagi menjadi modal kompetitif untuk pembangunan sebuah bangsa. Kini, modal kompetitif tersebut adalah kualitas sumber daya manusia. Dengan parameter parameter inilah, kita mengukur sejauh mana kepemimpinan itu mempunyai wawasan kebangsaan.
Indonesia sendiri adalah negara besar yang nyaris lengkap. Penduduk besar, kekayaan alam besar dan secara geopolitik dan geostrategis juga menguntungkan dalam kancah kompetisi internasional. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan tersebut belum dimanfaatkan dengan baik.
Bahkan sebaliknya, menjebak Indonesia ke dalam situasi yang menimbulkan krisis. Salah satu penyebab krisis yang paling utama adalah korupsi. Korupsi di sini dalam pengertian luas, bukan hanya korupsi dalam keuangan negara, tapi juga kedisiplinan, waktu, sumpah setia, tekad dan lain sebagainya.
Akar dari masalah multikorupsi tersebut sebetulnya adalah retaknya moral. Bangsa Indonesia terkikis moralnya karena ada ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini ketidakadilan menjalar di mana-mana. Mulai dari sistem distribusi kekayaan, penggajian di instansi swasta, lembaga eksekutif dan legislatif, hingga pemanfaatan kekayaan. Ketidakadilan itulah yang menimbulkan problem besar.
Kepemimpinan masa depan di era yang penuh transparansi karena adanya kemajuan tekhnologi informasi yang luar biasa ini, menuntut adanya pola/sistem yang menjamin terselenggaranya keadilan. Di dalam negeri, kepemimpinan model seperti itu harus dibangun melalui pendekatan intelektual dan moral, yang disertai dengan kemampuan menguasai berbagai keterampilan yang diisyaratkan oleh kepemimpinan global.
Dalam konteks inilah, sharing leadership harus diutamakan ketimbang individual leadership. Seorang pemimpin yang berhasil di masa depan akan bergerak secara terintegrasi dalam rangka membangun sumber daya manusia, memberdayakan manusia, mendorong dialeg di kalangan masyarakat, memacu kreativitas rakyat, mampu mengantisipasi perubahan sosial-budaya, mampu melakukan negosiasi yang efektif dan konstruktif untuk kepentingan bangsa.
Meminjam filsafat kepemimpinan harus bersifat luwes tapi kuat seperti air. Manusia tidak akan dapat membendung dinamika perubahan dunia. Maka yang harus dilakukan pemimpin yang berwawasan dalam menghadapi krisis multidimensi dan tantangan global di abad 21 ini adalah berjalan sesuai dinamika global, sambil mencari strategi untuk memanfaatkan dinamika global itu untuk kepentingan bersama.
Mengingatkan kepada pemimpin, untuk lebih melihat suatu rakyat karna pada sejatinya pimimpin dari rakyat untuk rakyat. Dalam artian, pemimpin harus betul betul memperhatikan rakyat. Yang dimana pran dan fungsi pemimpin pada sejatinya, menjadi jembatan untuk rakyat, agar rakyat dapat hidup sejahtra.
PENULIS: CANDRA MAHASISWA ITN MALANG
JURUSAN TEKNIK SIPIL S-1
HMI KOMISARIAT MADANI ITN MALANG,
BIDANG PTKP, DEPT. KPEMUDAAN
0 komentar:
Posting Komentar